Globalisasi, Kedaulatan Nasional dan Konflik Masa Depan
Gary Dean (Universitas Gadjah Mada, NIM 96/111909/EK/13500)
Yogyakarta, Desember 1997
Selama dasawarsa belakangan ini kata ‘globalisasi’ secara berangsur-angsur masuk ke dalam bahasa sehari-hari di negara-negara di seluruh dunia. Tetapi, apa sebenarnya artinya kata ‘globalisasi’ ini? Seperti banyak kata-kata baru lain yang secara tiba-tiba masuk ke dalam sebuah bahasa, arti sesungguhnya bisa dihilangkan atau dikaburkan di antara konsep-konsep baru yang kedengaran lebih enak dan merangsang, yang berkaitan dengannya; misalnya Internet, Perdagangan Bebas (Free Trade), Dunia tanpa batas (Borderless World), Jalan Raya Informasi (Information Superhighway), dan sebagainya. Thomas Freidman – seorang penganjur awal gagasan globalisasi – mendefinisikan globalisasi sebagai “integrasi perdagangan, keuangan, dan informasi yang sedang menciptakan satu pasar global dan kebudayaan tunggal”.
Akan tetapi, ada ahli-ahli pengetahuan yang meninjau globalisasi sebagai suatu trend bersejarah dari kapitalisme dunia. Giovanni Arrighi (1997) mengajukan empat “siklus akumulasi” dalam sejarah kapitalisme dunia, yang memulai dengan pedagang-pedagang kota-negara (city-state) Venice dalam abad ke-16, yang segera diganti oleh Belanda, sebuah negara bangsa kecil serta perusahaan-perusahaan negaranya (misalnya VOC) dalam abad ke-17, yang kemudian diganti oleh negara bangsa Inggris serta semua kerajaannya, yang kemudian lagi diganti oleh Amerika Serikat serta perusahaan-perusahaan antarnegara-nya (atau Multinational Corporations, MNC) dan pangkal-pangkal militernya yang terletak jauh dari pantai-pantai AS. Memang, proses globalisasi bisa ditinjau sebagai sesuatu yang berhubungan ketat dengan kebutuhan-kebutuhan kegiatan ekonomi sistem kapitalisme yang sedang berkembang.
Munculnya Asia Timur sebagai kawasan ekonomi penting selama masa kemunduran dan runtuhnya Blok Uni Soviet bisa dilihat sebagai bagian kunci dalam proses pengembangan kapitalisme terakhir ini, atau, globalisasi. Tanpa munculnya Asia Timur, globalisasi sebagai suatu fenomena baru tidaklah mungkin telah terjadi. Selanjutnya, keberadaan dari sistem perekonomian yang sedang bersaing dan yang kuat dalam bentuk Uni Soviet serta negara-negara satelitnya mungkin juga akan mencegah pertumbuhan terakhir globalisasi ini.
Arrighi berpendapat bahwa “pembentukan sistem kapitalisme dunia, serta transformasi berikutnya dari satu dunia kecil di antara beberapa dunia-dunia kecil lain untuk menjadi sistem sosial bersejarah untuk seluruh dunia, berdasarkan di atas pembangunan organisasi-organisasi teritori yang mampu mengatur kehidupan sosial dan ekonomi dan memonopoli alat-alat paksaan dan kekerasan. Organisasi-organisasi teritori ini adalah negara-negara bangsa yang kedaulatannya dirasa telah sedikit diperlemah oleh gelombang pengembangan keuangan yang ada sekarang.”
Globalisasi selalu ada hubungan ketat dengan kemampuan untuk berkomunikasi dengan jarak yang semakin jarak jauh sekalipun; memang, globalisasi bisa ditinjau sebagai kenihilan pengaruh jarak sebagai faktor pembatas dalam hubungan manusia dan perdagangan. Sedangkan kebaruan ‘revolusi informasi’ tetap mengesankan, “kebaruan kereta api, telegraf, mobil, radio dan telpon juga mengesankan dalam hari-hari terlampau.” (Harvey, 1995) Akan tetapi, perlu diakui bahwa selama 20 tahun belakang ini perkembangannya dalam bidang komputer dan teknologi komunikasi sudah sangat menambah kecepatan, mutu, dan kecanggihan dari komunikasi global. Yang menyatukan semua teknologi komunikasi baru ini adalah suatu protokol teknis yang dikembangkan oleh dan untuk Angkatan Bersenjata Amerika Serikat dalam tahun 60-an, yaitu Internet.
Maka, apakah implikasi dari proses globalisasi ini bagi negara bangsa yang berdaulat? Dasar negara bangsa modern diletakan dalam Traktat-traktat Westphalia di bawah panduan negara Belanda pada abad pertengahan 17. Sejak saat itu, kedaulatan negara telah menjadi prinsip penghubung bagi hubungan-hubungan internasional. Salah satu prinsip dari bentuk kebangsaan dan kedaulatan ini adalah konsep “integritas teritorial”, di mana batas-batas negara bangsa secara jelas digambar, dan dimana trespass (langgar tanah) oleh negara bangsa lain dianggap sebagai suatu pelanggaran serius bagi kedaulatan.
Pada dasarnya, segala sesuatu yang terjadi dalam batas-batas negara bangsa berdaulat merupakan kepentingan negara bangsa sendiri. “Campur tangan” dalam urusan-urusan internal dari suatu negara bangsa oleh negara lain dilihat sebagai suatu transgresi melawan kedaulatannya. Namun bagaimanapun realitasnya, jauh berbeda. Walaupun dalam teori kedaulatan bangsa mungkin diakui dalam beberapa hal, negara bangsa kuat selalu telah menggunakan pengaruh yang kuat atas urusan-urusan internal dari negara-negara bangsa yang lebih lemah. Jadi pada umumnya, bisa dikatakan bahwa kedaulatan Westphalian merupakan suatu mitos, dibalik pengaruh yang sangat kuat sebagai suatu konsep dalam hubungan-hubungan internasional.
Di masa lampau – seperti juga di masa mendatang – negara-negara yang lebih lemah akan hampir selalu siap untuk menyerahkan sebagian kedaulatan bangsa mereka sebagai suatu imbalan untuk beberapa bentuk proteksi atau keuntungan yang diterimanya. Oleh karena itu, kedaulatan mutlak jaranglah – kalaupun tak pernah – terjadi dalam sejarah kemanusiaan. Sungguhpun demikian, setiap hubungan dengan suatu kekuasaan eksternal perlulah melibatkan suatu diminusi, walaupun sedikit, dari kedaulatan bangsa, tetapi suatu diminusi kecil dari kedaulatan kadang dapat berarti suatu peningkatan dalam keamanan, kekuasaan, pengawasan, dan/atau kekayaan.
Keanggotaan organisasi-organisasi internasional ataupun regional oleh negara-negara bangsa juga mempunyai efek penurunan kedaulatan negara. Lembaga-lembaga seperti Organisasi Dagang Dunia (WTO, World Trade Organisation) dan Dana Moneter Internasional (IMF, International Monetary Fund) dapat mempunyai pengaruh yang sangat kuat pada suatu perekonomian bangsa, sampai mempengaruhi keamanan dan autonomi sosial internal dari bangsa itu. Intervensi IMF, ketika situasinya cukup parah, dapatlah secara serius menghapus kredibilitas dan kemerdekaan suatu negara bangsa. Lembaga-lembaga seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), dengan menggunakan intervensi militer, secara serius bisa mempertanyakan legitimasi dari suatu negara bangsa dan kemampuannya untuk menentukan apa yang terjadi dalam batas-batasnya.
Traktat-traktat internasional – baik multilateral ataupun bilateral – juga menyerahkan sebagian kedaulatan bangsa demi pencapaian suatu tujuan. Peserta penandatangan Deklarasi internasional akan Hak-Hak Asasi Manusia (IDHR, International Declaration on Human Rights) perlulah membuka diri mereka untuk pengujian secara berkelanjutan akan pelaksanaan Hak-Hak Asasi Manusia dari orang dan lembaga-lembaga di luar negara bangsa. Beberapa traktat internasional dapat menjadi begitu kuat pengaruhnya, bahkan bagi negara bangsa yang tidak ikut menandatangani sekalipun. Sebagai contoh, pemerintah Burma, suatu negara yang tidak ikut menandatangani IDHR, secara terus menerus dikritik dan dikecam atas penindasan akan hak-hak asasi manusia oleh bangsa-bangsa yang menandatangani.
Perusahaan-perusahaan multinasional (MNC) – secara khusus struktur-struktur perusahaan Amerika yang terintegrasi secara vertikal – telah berfungsi sebagai alat yang sangat kuat untuk pengangkatan pengaruh Amerika Serikat atas urusan-urusan setiap negara bangsa di Bumi. Coca-cola, IBM, Ford, Microsoft, hanya sekedar contoh beberapa diantaranya, di dalam mereka sendiri mempunyai kekuasaan dan pengaruh global yang lebih kuat daripada berpuluh-puluh penggabungan dari sejumlah negara kecil. Keberadaannya dari suatu MNC dalam suatu negara bangsa secara efektif memberi suatu tuntutan pada sebagian pendapatan negara tuan rumah, dan dalam banyak kasus pengontrolan atas sejumlah sumber daya tertentu. (Alrrighi,1997) Pengaruh eksternal semacam ini memungkinkan suatu diminusi pengontrolan oleh negara tua rumah, dan selanjutnya, dan diminusi kedaulatan.
Di arena informasi, pesan-pesan media tidak lagi terbatas lagi hanya pada suatu negara atau kota tertentu. Perkembangan teknologi berarti bahwa pesan-pesan itu sekarang disebarluaskan seketika melewat batas-batas yurisdiksi. “Batas-batas geografis akan suatu area jangkauan sinyal satelit (satellite footprint), menjadi sedemikian sehingga media tidak dapat lagi dianggap lokal. … Kemampuan undang-undang setempat untuk mengontrol media semacam itu serta untuk menuntut kebijakan umum setempat dalam hal-hal seperti budaya, bahasa dan moralitas juga dikurangi.”
Pada kenyataannya, Internet sebagai suatu teknologi komunikasi telah membuat pengaruh geografi dan tempat menjadi kurang penting (“ketiadaan – atau kematian – pengaruh jarak”), sampai beberapa pengamat memulai berspekulasi tentang formasi “negara bangsa virtual” dalam konteks Internet. Pemikiran semacam itu mengancam salah satu pondasi kritis dari negara bangsa, yaitu wilayah. Jika suatu bangsa dapat dibentuk tanpa memerlukan wilayah, masa depan apakah yang ada bagi negara bangsa yang didasari oleh tempat konvensional? Yang bisa muncul di masa depan adalah suatu “dunia komunitas yang tidak dapat lagi dimengerti dengan mudah…. dengan menggunakan istilah-istilah yang sekedar alami ataupun naturalistik.” (Falk,1995)
Salah satu ke-ironi-an dari proses globalisasi adalah pengaruh perpecahan negara bangsa menjadi pecahan yang lebih kecil, sementara pada waktu yang sama membuat tekanan pada negara-negara bangsa yang sama untuk me-regionalisasi-kan, yaitu, untuk membentuk pengelompokan regional, atas dasar ekonomi dan/atau militer. Semakin kecil suatu negara bangsa adanya, semakin kecil otonominya dalam hubungannya dengan kemandiriannya secara ekonomi, dan kemandirian dalam hubungannya dengan pertahanan wilayah. Perpecahan yang meningkat dari negara-negara bangsa yang lebih besar menjadi negara-negara autonom atau merdeka yang lebih kecil, menyebabkan meningkatnya autonomi dalam masalah-masalah lokal ataupun parokial, tetapi jauh lebih kurang kontrol dalam arti bahwa dunia luar dapat mempengaruhi mereka.
Sebagai suatu akibat dari kemenangan ideologi atas Uni Soviet, Amerika Serikat telah muncul sebagai negara tunggal yang sangat dominan, secara ideologis, secara ekonomi, dan secara budaya. Adalah Amerika Serikat, dan/atau kekuatan-kekuatan dalam Amerika Serikat, yang memimpin pergerakan globalisasi ekonomi yang didasarkan pada asumpsi-asumpsi dunia Barat (terutama Amerika Serikat).
Bahasa Inggris sekarang secara tidak diragukan lagi telah menjadi satu dan hanya satu-satunya bahasa dunia, dan pengetahuan dan penguasaan Bahasa Inggris sekarang sudah menjadi keharusan bagi para politikus, pejabat teras, para teknokrat, dan pengusaha di seluruh dunia. Pengaruh Bahasa Inggris telah berpengaruh dalam setiap bahasa lain di dunia, dan secara lengkap mendominasi vokabulari perdagangan dan teknologi secara khusus. Suatu kata tidaklah bersifat netral; suatu kata selalu dimuati satu atau lebih asumsi budaya, sehingga ketika suatu kata asing masuk ke dalam suatu bahasa, suatu konsep asing secara pasti juga masuk, dan penerimaan suatu kata dalam suatu bahasa juga dapat berarti suatu penerimaan dari “pengikut budayanya” (cultural passenger).
Amerika Serikat terus mendominasi dunia hiburan film, walaupun industri fim itu kelihatannya secara lengkap hanya mengagungkan diri mereka sendiri dan secara obsesif ke arah Amerika sentris. Program-program komedi (sit-coms) Amerika Serikat serupa dengan “Kuda Tojan” dari masa kuno yang diisi penuh dengan asumsi-asumsi dan nilai-nilai masyarakat Amerika Syarikat yang bersifat sangat individualisme dan egois, di mana setiap anggota masyarakat itu hidup seolah-olah mereka tinggal dalam suatu sit-com dari hasil buatan mereka sendiri.
Pada suatu kondisi tertentu tidaklah pernah sebelumnya dunia mengalami, dunia telah menjadi dibanjiri oleh suatu budaya, ideologi, atau pandangan dunia, yaitu, kapitalisme gaya Amerika Serikat. Namun bagaimanapun, sejarah menyatakan bahwa hegemoni seperti ini hanya bertahan hidup pada masa tertentu sebelum dibanjiri oleh budaya dan ideologi lain yang bersaing dan baru muncul. Sungguhlah demikian, hegemoni Amerika Serikat dapat membawa ke dalamnya bibit-bibit keruntuhannya sendiri karena MNC-MNC-nya semakin “berdaulat” sendiri – yang merupakan tulang punggung kekuasaan AS saat ini – semakin bebas dari keharusan wilayah Amerika Serikat, atau perlindungan militernya. Maka sungguhpun demikian, kemenangan global kapitalisme Amerika Serikat mungkin hanyalah akan bertahan secara singkat dalam konteks bersejarah.
Perpecahan negara-negara bangsa sebagai suatu konsekuensi lokalisasi-globalisasi merupakan sumber utama akan konflik dunia baik sekarang ataupun di masa mendatang. Tuntutan-tuntutan akan otonomi regional atau independensi didasarkan pada identitas atau agama sekarang ini sangatlah umum, dan akan menjadi terus semakin umum. Lebih lanjut dari masalah ini adalah kompetisi yang meningkat antara negara-negara bangsa atas sumber-sumber daya alam, sebagai contoh, air bersih dan minyak bumi. Karena masalah polusi, bahkan udarapun telah menjadi suatu titik api konflik antar negarabangsa.
Walaupun negara bangsa sebagai suatu institusi tidak akan menghilang dalam masa depan, monopoli kekuasaan akan secara cukup terlemahkan, dan pengendaliannya pada penduduk berkurang. Negara bangsa tersebut akan menjadi hanya salah satu dari beberapa struktur organisasi dunia. Kedaulatan mutlak – dengan suatu asumsi kedaulatan semacam itu pernah ada – mungkin secara pasti akan ditinggalkan dalam sejarah zaman perindustrian akhir, suatu keanehan yang indah di sepanjang jalan perjalanan bersejarah kemanusiaan, atau mungkin bahkan sebagai suatu monumen paling sederhana yang menandai berakhirnya prasejarah manusia.